Senin, 20 Oktober 2008

HALAL BIL HALAL ; MEMBANGUN INTEGRITAS DENGAN MEMINTA ATAU MEMBERI MA'AF

TRADISI MUDIK DAN SILATURAHIM (Halal bil Halal)

Bila didasari kebaikan dengan semangat dari nilai ajaran agama; ” Bersegeralah kepada ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi diperuntukkan untuk orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang membelanjakan hartanya baik dalam keadaan lapang maupun sempit, dan orang yang menahan amarahnya saat dia marah, dan orang yang memaafkan sesama manusia, dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (Al Qur’an, Al Imran 133-,134). Maka perayaan hari raya Idul Fitri oleh bangsa Indonesia tidak terlepas dengan budaya silaturahim dan acara Halal bil Halal. Yang unik dari bangsa ini adalah bahwa momen silaturahim sebagai bagian seperti tak terpisahkan dari perayaan hari besar pasca bulan puasa tersebut. Sehingga ummat Islam yang mayoritas di Indonesia ini melakukan budaya ”Mudik” setiap tahunnya yakni pulang kekampung halaman tempat asal dia dilahirkan atau dan dimana ada orang tua dan sanak keluarganya.
Sehingga dari fenomena Mudik tersebut, sebetulnya pemerintah bisa memberikan regulasi mengenai Mudik agar bisa lebih aman dan nyaman sebagai bentuk kepedulian dan pelayanan kepada elemen bangsa ini.(Korelasi bisa baca artikel;Pemerintah Perlu membuat Undang-undang Mudik ?).

SEJARAH ORANG PEMAAF

Tradisi meminta maaf apalagi dalam konteks hubungan kemanusiaan ternyata mempunyai nilai yang amat positif, baik dari sisi orang yang meminta maaf dan lebih baik lagi dari orang yang memberi maaf itu sendiri. Kita bisa melihat dalam sejarah Islam, integritas sang Rasulullah sebagai tauladan ummatnya juga tidak lepas dari kebiasaan memberi maaf kepada pihak lain. Cerita Nabi Muhammad SAW berada pada masa awal kenabiannya, saat berdakwah ke Thaif. Apa yang beliau dapatkan ? Tidak hanya ditolak dan dihina, warga Thaif melakukan tindak kekerasan dengan melempari batu hingga Nabi SAW berdarah. Pada sa’at itu turunlah malaikat Jibril As. Jibril bertanya kepada Nabi; “Wahai Rasullullah SAW, hendak diapakan orang-orang Thaif ?. Saya bisa balikkan gunung untuk membinasakan mereka semua”Kemudian Nabi SAW menjawab “ Ya Jibril, jangan lakukan itu, mereka berbuat begitu disebabkan mereka belum mengetahui” .Jawaban sangat singkat namun penuh makna, didalamnya terkandung permakluman dan pemberian ma’af kepada orang-orang Thaif dari seorang Tauladan.
Kisah lain meriwayatkan, bahwa hampir setiap hari ketika Nabi SAW ingin berangkat ke masjid, ia selalu diludahi oleh seorang tua Yahudi, namun Nabi SAW tidak pernah marah dan selalu mema’afkan orang itu. Sampai pada suatu hari, Nabi SAW merasa tidak ada yang meludahinya. Kemudian beliau bertanya kepada para sahabat. Terjadi dialog kurang lebih; “Kemana orang yang sering meludahi saya, koq saya dalam beberapa hari ini tidak diludahi lagi”? Para sahabat merasa heran dan menjawab,” Orang itu lagi sakit ya Rasullullah. Kenapa Rasulullah menanyakan dia, setahu kami Rasulullah sering dihina dan diludahin olehnya”, kata para sahabat. Rasulullah diam sejenak dan kemudian berkata,” Antar saya kesana, saya ingin menjenguknya” Tentu saja para sahabat bingung, termasuk Umar bin Khatab bekas “preman” yang telah jadi muslim ta’at tentunya sering geram dengan tingkah orang tua Yahudi tersebut. Namun mereka tidak bisa menolak keinginan Rasulullah SAW, orang yang selama ini sangat mereka hormati dan segani karena kejujuran, keberanian dan ketegasaannya. Sehingga berangkatlah Nabi SAW bersama para sahabat ketempat orang Yahudi yang sedang sakit. Tentu saja Yahudi tua itu merasa kaget. Dia meminta ma’af atas perbuatanya serta kekurang ajaran-nya kepada Nabi SAW selama ini, sambil menangis tersedu-sedu. Sang Rasul SAW mema’afkan orang itu, tanpa prasyarat apapun. Dahsyat dan benar-benar ikhlas, sehingga sa’at itu juga, sang Yahudi menyatakan masuk Islam dan tidak lama kemudian meninggal dunia.
Memberi maaf yang beliau lakukan dimata ummatnya dan pihak lain menjadikan integritas dirinya menjadi sangat baik. Nuansa keteduhan dan segan akan muncul dari seorang pemaaf, sehingga melahirkan pengikut-pengikut jejaknya orang-orang yang mempunyai prestasi sangat baik dalam sejarah.
Dalam sejarah dunia pada umumnya pun memberi maaf kepada pihak lain adalah bahagian kesuksesan tokoh-tokoh besar di dunia ini seperti;
Seorang Nelson Mandela, korban kedzaliman pemerintahan apartheid Afrika Selatan. Dia penentang keras politik perbedaan warna kulit yang dilakukan oleh pemerintahan Afrika Selatan. Sehingga dalam sejarah kita tidak pernah mengetahui wajah Mandela ketika masih muda kecuali melihatnya lewat foto-foto yang disiarkan oleh televisi yang menampilkan saat muda berusia 25 tahunan. Kita mengenalnya setelah dia keluar dari penjara dengan rambut putih semua.Setelah keluar dari penjara dan menjadi pemimpin negeri itu dia tidak membantai seluruh warga kulit putih disana, namun mema’afkan mereka semua yang telah memenjarakan dirinya puluhan tahun di penjara Afrika Selatan. Mandela melakukan rekonsiliasi dalam arti yang sebenar-benarnya, bukan basa basi, tanpa menyimpan sedikitpun dendam. Sekarang kita melihat Afrika Selatan relatif normal sebagai sebuah negara. Dan ketika Mandela mundur sebagai Presiden Afrika Selatan, semuanya berjalan lancar, tertib dan aman.Terlepas dari ada beberapa pro dan kontra untuk seorang tokoh Nelson Mandela, namun yang ingin saya sampaikan, bahwa dia adalah contoh pemimpin yang mampu mengubur masa lalu dan berupaya menatap kedepan, antara lain dengan memberikan ma’af, baik kepada institusi maupun individu yang dianggapnya telah membuat dia menjadi menderita dan teraniaya.

MEMINTA MA’AF; MENGUBAH PANDANGAN ORANG TENTANG KITA DAN MENGUATKAN KREDIBILTAS KITA

Yang perlu dipahami pada diri kita adalah, bahwa sebagai manusia kita tidak akan luput dari kesalahan baik pada diri sendiri dan pada pihak lain. Namun orang baik adalah orang yang menyadari kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya. Dalam hal pekerjaan ada pengalaman dari seseorang saat melaksanakan pekerjaan dan membuat kekeliruan. Ia dipanggil oleh atasannya, namun menyadari akan kesalahannya sebelum memasuki ruangan, ia sudah siap untuk mengakui kekeliruannya dan siap menanggung resiko apapun yang akan terjadi kepadanya, sekaligus ia ingin meminta ma’af atas kekeliruan tersebut. Setelah berbasa basi sebentar sang atasan kemudian menanyakan kepadanya tentang kekeliruan tsb. Pada awal pembicaraan, langsung ia minta ma’af atas kekeliruan tersebut dan ia siap diberikan sanksi atas kesalahannya itu. Suatu keajaiban terjadi, karena air muka atasan berubah menjadi teduh dan tersenyum. Begitu wajahnya berubah, langsung ia lanjutkan dengan argumentasinya dan menjelaskan mengapa semua itu bisa terjadi. Sang atasan mengangguk-anggukan kepala. Akhir kata, pertemuan dengan atasan berakhir dengan happy ending dan ia mendapat tugas lagi yang lebih menantang. Tentu saja akan lain kejadiannya, bila pada awal pembicaraan ia memberikan alasan-alasan terlebih dulu mengapa kesalahan itu bisa terjadi, sampai lupa meminta ma’af atas kesalahan tersebut.
Jadi ternyata meminta ma’af justru menguatkan kredibilitas kita, menaikan harga diri kita dan mengakui keberadaan kita sebagaimana manusia, yang tidak luput dari kekeliruan. Tentu menjadi lain masalahnya, bila kita melakukan kekeliruan yang sama, dan kesalahan yang itu-itu juga. Jika demikian masalahnya, kita setara dengan keledai.Oleh sebab itu, minta ma’aflah, jika memang kita benar-benar bersalah atau melakukan kekeliruan, sekecil apapun kesalahan yang kita lakukan. Efeknya sungguh luar biasa.

PEMBERIAN MA’AF MERUPAKAN PROSES DETOKSIFIKASI

Dari tokoh yang saya paparkan sebelumnya Rasulullah Muhammad SAW dari sifatnya yang pemaaf terhadap kesalahan orang-orang terdahulu dan ummatnya juga terkenal tokoh yang sederhana, tidak sombong, rendah hati, wajahnya enak dilihat. Juga bila kita mengingat penampilan seorang Nelson Mandela dia termasuk salah satu orang yang telah memaafkan dari kesalahan rezim yang sebelumnya, ia senantiasa ceria, rendah hati dan enak dilihat. Dua tokoh tersebut meski bukan maksud untuk menyamakan adalah orang yang karena memaafkan maka mengalami detoksifikasi, yaitu mengeluarkan racun-racun yang ada dalam tubuh dan pikiran melalui pemberian ma’afnya.
Kebalikan dari orang yang pema’af adalah orang yang tidak pernah mengakui kekeliruan ataupun kesalahan yang dilakukannya. Dia selalu mengelak, dan menimpakan kesalahan pada orang lain. Otomatis, menurut anggapan dia, dia tidak berbuat salah, dan karena tidak berbuat salah, dia tidak perlu minta ma’af, baik dalam pekerjaan, hubungan kemasyarakatan atau keluarga. Apalagi ia mempunyai anggapan yang keliru bahwa meminta ma’af adalah pekerjaan rendah dan hina. Dengan meminta ma’af, menurutnya, mengurangi kehebatan dirinya, dan menjadikan dirinya sangat rendah dan tidak hebat. Kehidupan orang-orang seperti ini akan mengalami kesempitan gerak dan pemikiran. Kecurigaan kepada pihak lain serta senantiasa merasa benar akan membuat dirinya sempit pada dadanya dan pemikiran. Muncullah racun-racun penyakit dalam tubuhnya karena pemikiran tersebut ini kebalikan dari orang-orang pema’af sebelumnya.

Bila kita cermati penjabaran di atas tentu secara normatif kita akan memilih sebagai pema’af agar mempunyai sifat baik seperti tokoh-tokoh di atas. Namun kembali kepada diri kita masing-masing, apakah pemberian ma’af penting dalam upaya pencapaian kita untuk hidup berkelimpahan rejeki, kemakmuran, kesehatan, berbagi kepada orang lain baik harta maupun ilmu dan kebahagiaan sejati dalam arti kebahagiaan secara materi/finansial maupun kebahagiaan spiritual dalam arti keberadaan diri kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Demikian dari hikmah ”Mudik” dan Halal bil Halal sebagai sarana silaturahim untuk saling memberi ma’af yang ternyata sangat penting dalam pencapaian kehidupan yang lebih baik dan berkualitas. Kita umpamakan, proses pemberian ma’af semacam anti oksidan, yang memusnahkan radikal bebas dari tubuh dan pikiran kita. Tubuh kita menjadi lebih segar dan sehat, pikiran kita menjadi jernih, karena segala racun tubuh berupa dendam kesumat, iri hati, dan dengki lenyap pada saat kita memberikan ma’af kepada siapapun yang telah menyakiti kita.
Apakah hal tersebut sulit ? Jika kita menganggapnya sulit, maka pemberian ma’af menjadi sulit. Namun jika pemberian ma’af kita katakan sebagai suatu keharusan dalam mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan, maka kita katakan bisa dilakukan, maka pemberiaan ma’af pasti dapat dilakukan.Untuk lebih mudah memahaminya, kita misalkan pemberian ma’af sebagai proses detoksifikasi, proses pengeluaran racun dari dalam tubuh kita. Pada saat kita memberikan ma’af, maka yang terjadi adalah kita tengah mengeluarkan racun-racun diri tubuh dan pikiran kita, dan kemudian terjadi adalah rasa lapang, segar, menyenangkan, aura wajah kita muncul berbinar, imajinasi kita tentang keberhasilan dan kesuksesan jelas tergambar, dan pada akhirnya apa yang menjadi keinginan kita, hidup yang nyaman, berkualitas, makmur, sukses dalam arti yang luas, benar-benar terwujud.Marilah kita mencoba memberi ma’af untuk hal-hal yang kecil lebih dulu, kemudian secara perlahan dilanjutkan dengan memberi ma’af kepada hal-hal yang menurut Anda sulit dilakukan, padahal mudah dilakukan. Tetaplah bersyukur, berdo’a, dan menjaga silaturahim dan lakukan afirmasi untuk menimati bahwa hidup ini benar-benar menyenangkan, dan tidak ada alasan untuk menanam racun dalam diri kita(.)

Tidak ada komentar: